Ketika Sophia Latjuba mengiklankan sabun mandi GIV, yakinkah Anda bahwa dalam kehidupan sehari-hari dia juga memakai sabun yang murah meriah itu? Adapula cerita menarik ketika wartawan memergoki Nirina Zubair, VJ MTV, memakai nomer operator lain padahal tengah menjadi brand ambassador IM3. Tentu yang lebih parah adalah ketika seorang karyawan minuman ringan ternama ketahuan minum bermerek kompetitor utama, kontan mendapat sanksi dari perusahaan.
Yang terakhir adalah kisah yang terjadi di AS. Kisah ini sebenarnya bertutur mengenai loyalitas terhadap merek, tetapi bukan oleh pelanggan. Acap kita membahas mengenai loyalitas pelanggan, namun lupa brand loyalty pihak internal. Padahal brand loyalty pihak internal inilah yang diharapkan memancar keluar kepada pihak eksternal, para pelanggan.
Loyalitas pelanggan adalah tambang uang bagi perusahaan. Dan dalam realitas, loyalitas terhadap produk atau layanan terungkap dalam loyalitas merek. Tak ayal brand loyalty menjadi fokus semua kegiatan pemasaran, bahkan segenap awak perusahaan.
Martin Lindstrom mempunyai cara unik untuk mengukur loyalitas terhadap merek. Dalam survei yang melibatkan responden dari 13 negara, responden ditanya kesediaannya untuk ditato logo merek favoritnya secara permanen di lengan atau anggota tubuh lainnya. Pendekatan nyleneh ini ternyata didukung oleh 18,9 persen responden yang memfavoritkan Harley-Davidson. Tiga merek paling favorit yang secara berturut-turut mengikutinya adalah Disney, Coca-Cola, dan Google.
Nah, jika pelanggan saja disuruh loyal terhadap merek, bagaimana dengan para karyawan? Tentu para karyawan harus dibuat loyal terhadap merek. Coba simak cara Disney membangkitkan loyalitas mereknya. Disney membuat system mulai dari rekrutmen, pelatihan, sampai kebijakan SDM agar mencerminkan atribut dan pesan yang terkandung dalam merek Disney. Juga mencakup layanan, perilaku, sampai pakaian karyawannya. Memastikan bahwa karyawannya mengerti dengan gambling makna merek Disney, dan bagaimana mereka harus bersikap dan berperilaku untuk mendukungnya.
Jadi brand loyalty karyawan sebagai pihak internal mempunyai makna yang lebih luas dan tuntutan yang lebih berat. Bukan sekedar memakai produk dengan setia, tetapi juga harus mampu menjaga agar pelanggan tetap setia. Jadi karyawan mesti dijadikan sebagai tulang punggung dalam menghidupkan brand. Prinsip ini dipakai mulai dari tahap paling awal, perekrutan karyawan baru. Yang dilanjutkan dengan membangkitkan antusiasme dan gairah karyawan sehingga merek menjadi komitmen mereka. Cara membangkitkan yang paling efektif adalah melibatkan mereka dalam prosesnya. Termasuk komunikasi yang melibatkan edukasi karyawan berikut mekanisme umpan baliknya, sehingga karyawan memiliki kesadaran yang tinggi terhadap esensi dari merek. Pemahaman esensi ini mulai dari nilai-nilai yang terkandung dalam setiap atribut identitas merek sampai brand promise. Dengan demikian menimbulkan tanggung jawab dan rasa memiliki.
Kesemuanya harus didukung komunikasi internal secara konsisten untuk menjelaskan tata nilai dan perilaku yang sesuai dengan brand promise. Kesuksesan internalisasi ini ditandai dengan merasuknya tata nilai dan perilaku ini dalam keseharian karyawan.
Dalam membangun merek yang kuat memang dibutuhkan komunikasi yang efektif, yaitu konsisten, dapat diterima secara jernih, dan dimengerti secara jelas oleh khalayak sasaran. Inilah yang menjadi prinsip komunikasi pemasaran. Masalahnya jika kita menyebut komunikasi pemasaran pikiran langsung tertuju kepada para pelanggan di luar sana. Kita sering abai, bahwa komunikasi itu juga harus mampu memasarkan terlebih dahulu kepada para pelanggan internal, para karyawan dan kalangan internal perusahaan. Jangan lupakan tentang brand loyalty pihak internal, sebelum menyuruh pelanggan loyal kepada merek kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar